RUKUN ISLAM
Islam didirikan atas lima dasar,
sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,
Rasulullah bersabda :
“Islam didirikan atas lima dasar; yakni : (1) Bersaksi
bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba
Allah dan Rasul-Nya, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) puasa
Ramadhan, dan (5) ibadah haji.” (HR. Bukhari Muslim).
1. Syahadat
Syahadat bahwa “Tiada tuhan (yang berhak
diibadahi) selain Allah” haruslah diwujudkan dengan keikhlasan beribadah
kepada-Nya, dan syahadat “bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah ” diwujudkan
dengan mengikuti tuntunan beliau dalam beribadah kepada Allah.
Diantara hikmah syahadat (kesaksian) yang
terbesar ialah membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk, dan
membebaskannya dari mengikuti selain para Rasul- Nya.
2. Shalat
Mendirikan shalat maknanya: menyembah Allah dengan mengerjakan shalat
secara istiqamah serta sempurna, baik waktu maupun caranya.
Diantara hikmah shalat adalah merasakan kelapangan
dada, ketenangan hati, dan menjauhkan
diri dari perbuatan keji dan mungkar.
3. Zakat
Membayar zakat maknanya: menyembah Allah dengan mengeluarkan kadar
(ukuran) yang wajib dari harta-harta yang harus dizakati.
Diantara hikmah mengeluarkan zakat adalah
membersihkan jiwa dan moral yang tercela yakni kekikiran, serta dapat mencukupi
kebutuhan kaum muslimin yang dhu`afa.
4. Puasa
Puasa Ramadhan maknanya: menyembah Allah dengan cara meninggalkan hal-hal yang
dapat membatalkannya di siang hari bulan Ramadhan.
Salah satu hikmahnya adalah melatih jiwa untuk
meninggalkan hal-hal yang dicintai demi
mencari ridha Allah Azza wa jalla.
5. Naik haji ke Baitullah (rumah Allah),
Maknanya: menyembah Allah dengan melakukan perjalanan
menuju Bait al Haram (Rumah suci) untuk melaksanakan manasik haji.
Diantara hikmahnya adalah: melatih jiwa untuk mengerahkan segala
kemampuan harta dan jiwa agar tetap taat kepada Allah.
Oleh karena itu haji merupakan salah satu
bentuk jihad fi sabilillah.
Hikmah rukun Islam, baik yang sudah kami sebutkan
maupun yang belum kami sebutkan, akan dapat menjadikan umat sebagai umat yang
suci, bersih, beragama yang benar, dan memperlakukan manusia dengan penuh
keadilan serta kejujuran.
IMAN KEPADA
ALLAH
Iman kepada Allah mencakup empat hal:
1. Beriman kepada keberadaan Allah
Wujud Allah telah dibuktikan oleh :
a. Bukti fitrah
tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap
makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Dan kenyataan ini diakui
oleh setiap orang yang memiliki fitrah yang benar yang di dalam hatinya tidak
terdapat sesuatu yang memalingkannya dari fitrah ini.
Rasulullah bersabda:
“Semua bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.” (HR. Al-Bukhari).
b. Bukti akal
tentang wujud Allah adalah proses penciptaan semua makhluk, bahwa semua makhluk
pasti ada yang menciptakan. Karena tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri,
dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin makhluk
menciptakan dirinya sendiri, karena makhluk sebelum diciptakan tentulah ia
tidak ada, dan sesuatu yang tidak ada, mustahil mampu menciptakan sesuatu. Semua
makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti
membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan- aturan yang harmonis,
tersusun rapi, dan adanya hubungan yang erat antara sebab dan musabab, antara
alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan
seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuat yang ada secara kebetulan, pada
awalnya pasti tidak teratur, maka bagaimana mungkin kemudian dia menjadi
teratur dan tetap bertahan teratur tanpa ada faktor lain.
Kalau makhluk tidak dapat menciptakan dirinya
sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk
itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal) yang
qath’i dalam surat Ath-
thur:
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?” ( QS. Ath-thur:
35).
Dari ayat di atas jelaslah bahwa makhluk
tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri.
Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.
Dalam hal ini Kami ingin memberikan satu contoh.
Kalau ada seseorang bercerita kepada anda tentang istana yang megah, yang
dikelilingi kebunkebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan permadani,
dan dihiasi dengan berbagai jenis hiasan utama dan pelengkap, lalu orang itu
mengatakan kepada anda bahwa istana dengan segala kesempurnaanya ini ada dengan
sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti anda tidak
akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan
dungu.
Jika demikian halnya, apakah mungkin alam
semesta yang luas ini beserta isinya; bumi, langit dan galaxygalaxy dengan
sistem yang sangat rapi dan elok tercipta dengan sendirinya atau tercipta
secara kebetulan?
2. Beriman kepada Rububiyah Allah .
Beriman kepada Rububiyah Allah maksudnya: beriman sepenuhnya bahwa
Dialah satu-satunya Pengatur alam semesta, tiada sekutu dan tiada penolong
selain Dia. Rabb adalah Zat yang
menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah,
tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah-Nya.
Allah berfirman:
“…Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanya hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-A’raf: 54).
Allah berfirman:
"…Yang (berbuat) demikian
itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13).
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan
Allah, kecuali orang yang congkak
sedang ia tidak meyakini kebenaran
ucapannya, seperti yang dilakukan Fir`aun ketika berkata kepada kaumnya:
“Akulah
tuhanmu yang paling tinggi.” (
QS. An- Naziat: 24)
Dan juga ketika berkata:
“Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS.
A-Qashash: 38)
Allah berfirman:
“Dan mereka mengingkarinya karena
kezdaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.”
(QS. An-Naml: 14).
Allah berfirman:
Nabi Musa berkata kepada Fir`aun, “Sesungguhnya
kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali
Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan
sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’: 102).
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik
mengakui rububiyah Allah, meskipun
mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).
Perintah Allah mencakup
perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur
alam, pemutus seluruh perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga penentu
peraturan-peraturan ibadah serta hukumhukum
muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah- Nya.
Oleh karena itu barangsiapa yang menjadikan penentu aturan-aturan ibadah selain
Allah dan penentu aturan-aturan mu`amalat selain Allah berarti ia telah
menyekutukan Allah serta tidak beriman
kepada-Nya.
3. Beriman kepada Uluhiyah Allah .
Beriman kepada Uluhiyah Allah maksudnya: benar-benar
mengimani bahwa Dialah Ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Al Ilah artinya “al
ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh
kecintaan serta pengagungan.
Allah berfirman:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang
Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (
QS.
Al Baqarah:
163).
Allah berfirman:
“Allah menyatakan bahwa tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan, para Malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” ( QS. Al-Imran :18).
Setiap sesuatu yang disembah selain
Allah, Uluhiyahnya adalah batil.
Allah berfirman:
“(Kuasa
Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang
haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang
batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al- Hajj: 62).
4. Beriman kepada Asma’ dan sifat
Allah .
Iman kepada
Asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Allah ,
yakni : menetapkan nam nama dan
sifatsifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau
sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan makana), ta’thil (menafikan makna), takyif
(menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
Dalam masalah
Asma’ dan sifat ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
1. Golongan Mu’aththilah,
yaitu mereka yang mengingkari seluruh
nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya. Menurut dugaan mereka,
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dapat menyebabkan tasybih
(penyerupaan), yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Ini dikelirukan
sebagaimana anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, sama-sama mendengar,
melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna
kemanusiaannya, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraannya. Anda juga melihat
beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi persamaan itu tidak mengharuskan
tangan, kaki dan mata mereka sama persis. Apabila antara makhluk-makhluk yang
serupa dalam nama atau sifatnya saja memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan
antara khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2. Golongan Musyabbihah,
yaitu golongan yang menetapkan nama-nama
dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah dengan makhluk. Mereka mengira hal
ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan
hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat
difahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:
a. Menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya
jelas merupakan sesuatu yang batil,
menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci
Al-Qur’an dan sunnah Rasul menunjukkan pengertian yang batil.
b. Allah
berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami maknanya.
Buah iman kepada Allah:
1.
Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan harapan
kepada selain Allah, tidak takut kepada
yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. kesempurnaan
cinta kepada Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang
indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha tinggi.
3.
Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta
menjauhi apa yang dilarang-Nya.
IMAN
KEPADA PARA MALAIKAT
Malaikat adalah makhluk ghaib yang selalu
beribadah kepada Allah. Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan
rububiyah dan uluhiyah. Allah menciptakannya dari cahaya, lalu memberikan kekuatan
yang sempurna kepada mereka untuk tunduk dan selalu melaksanakan ketaatan
kepada-Nya.
Allah berfirman:
“… dan Malaikat yang ada di
sisi-Nya, mereka tidak angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa
letih, mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al Anbiya’: 19-20).
Jumlah Malaikat sangat banyak, tidak ada
yang dapat menghitungnya, kecuali Allah.
Dalam hadits Bukhari dan Muslim
diriwayatkan dari Anas tentang kisah isra-mi’raj bahwa Allah telah memperlihatkan
Al-Baitul Ma’mur yang ada di langit
kepada Nabi. Di dalamnya selalu ada
70.000 Malaikat yang setiap hari melakukan shalat. Siapa yang keluar dari
tempat itu, tidak kembali lagi.
Iman kepada Malaikat mencakup empat
hal:
1. Mengimani wujud (keberadaan) mereka.
2. Mengimani
mereka yang kita kenali namanamanya, seperti Jibril, dan juga mengimani secara
global Malaikat yang tidak kita kenal nama-namanya.
3. Mengimani
sifat-sifat mereka yang kita kenali, seperti sifat bentuk Jibril, sebagaimana yang
pernah dilihat Nabi, ia memiliki 600 sayap yang menutupi ufuk.
Malaikat bisa saja menjelma menyerupai
seorang laki-laki, seperti yang pernah terjadi pada Malaikat Jibril tatkala
Allah mengutusnya kepada Maryam. Jibril menjelma jadi seorang manusia yang sempurna.
Demikian pula ketika Jibril datang kepada
Nabi , sewaktu beliau sedang duduk di
tengahtengah para sahabatnya. Jibril datang dengan bentuk seorang lelaki yang
berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat tanda-tanda dia baru
saja melakukan perjalanan jauh, namun tidak seorangpun yang mengenalinya.
Jibril duduk didekat Nabi, menyandarkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan
meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha nabi. Ia bertanya kepada
Nabi tentang Islam, iman, ihsan, hari kiamat, dan tandatandanya, setelah tidak
di situ lagi, barulah Nabi menjelaskan kepada para sahabatnya, “itu adalah Jibril yang datang untuk
mengajarkan kalian tentang
agama kalian.” (HR.Muslim)
4. Mengimani tugas-tugas yang
diperintahkan
Allah kepada
mereka yang sudah kita ketahui, seperti selalu bertasbih, dan beribadah
kepada Allah siang
dan malam tanpa merasa lelah dan jemu.
Diantara mereka ada yang mempunyai
tugastugas tertentu, misalnya :
• Malaikat Jibrail :
Tugasnya membawa wahyu dari Allah Ta’ala kepada Rasul-rasul dan Nabi-nabi, juga
menguruskan bala seperti gempa bumi, air bah, ribut dan lain-lain lagi.
• Malaikat Mikail :
Tugasnya membawa rezeki dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, membiakkan haiwan,
mengeluarkan hasil galian bumi.
• Malaikat Israfil :
Tugasnya untuk meniup “sangkakala” ketika sampai masa kiamat iaitu bumi akan
hancur dab sekali lagi ia meniup sangkakala itu ketika sampai masa manusia
hidup semula dan keluar dari kubur untuk perhitungan di akhirat.
• Malaikat Maut :
Tugasnya ialah mengambil nyawa, iaitu mematikan apabila sudah sampai ajal, dan
tugasnya mengambil nyawa tidak akan cepat sesaat dan tidak akan lewat sesaat.
Buah
iman kepada Malaikat.
1.Mengetahui
keagungan Allah, kekuatan dan kekuasan-Nya. Karena kebesaran makhluk
pada hakikatnya menunjukkan keagungan sang
(khaliq) Pencipta.
2.Syukur kepada
Allah atas
perhatian-Nya terhadap manusia sehingga menugasi Malaikat untuk memelihara,
mencatat amal-amal dan berbagai kemaslahatannya yang lain.
3.Cinta kepada
para Malaikat karena ibadah yang mereka lakukan kepada Allah.
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
“Kitab” berarti, “sesuatu yang ditulis”.
Namun yang dimaksud disini adalah kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh
manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Iman kepada kitab mencakup empat hal:
1. Mengimani bahwa kitab-kitab tersebut
benarbenar diturunkan oleh Allah.
2. Mengimani
kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya seperti Al Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad , Taurat
yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, dan
Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud. Adapun kitab-kitab yang tidak kita
ketahui namaya, kita mengimaninya secara global.
3. Membenarkan
hal-hal yang diberitakan oleh kitab-kitab tersebut, seperti berita-berita yang
ada di dalam Al Qur’an, dan berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti
atau belum diselewengkan.
4. Mengerjakan
seluruh hukum yang belum dinasakh (dihapus) serta rela dan tunduk pada
hukum itu, baik kita memahami hikmahnya
maupun tidak. Seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al Quran karim,
sesuai dengan firman-Nya:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu
Al Qur’an yang membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitabkitab
yang lain itu…” (QS. Al-Maidah:
48).
Oleh karena itu tidak dibenarkan
mengamalkan hukum apapun dari kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan
telah disetujui oleh Al Qur’an.
Buah iman kepada kitabullah
1. Mengetahui perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya
dengan menurunkan kitab yang
menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap
umat manusia.
2. Mengetahui
hikmah Allah dalam syara’ atau hukum-Nya sehingga menetapkan hukum yang sesuai
dengan tabiaat setiap umat, seperti firman-Nya:
“… untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al
Maidah: 48).
3. Mensyukuri ni’mat Allah.
IMAN
KEPADA PARA RASUL
“Rasul” berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun
yang dimaksud “Rasul” disini adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk
disampaikan kepada umatnya. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh , dan yang
terakhir adalah Nabiyullah Muhammad .
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah
memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh
dan Nabi-nabi yang berikutnya…” (QS.
An Nisa’: 163).
Iman kepada para Rasul mencakup
empat hal:
1.Mengimani
bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka,
walaupun hanya seorang, maka maka sungguh ia telah mengingkari risalah seluruh
para
Rasul.Allah berfirman:
“Kaum
Nuh telah mendustakan para Rasul.” (QS.
Asy Syu’ara’: 105).
Allah menyatakan
bahwa mereka mendustakan semua Rasul, padahal hanya seorang Rasul saja yang
mereka dustakan. Oleh karena itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti
Nabi Muhammad, berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi
Isa Al Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri pernah manyampaikan kabar
gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad sebagai
rahmat bagi semesta alam. Kata “memberi kabar gembira” ini mengandung makna
bahwa Muhammad adalah seorang Rasul kepada mereka juga, dimana Allah menyelamatkan
mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk mereka kepada jalan yang lurus
melalui Nabi tersebut .
2.Mengimani orang-orang yang sudah kita
kenali nama-namanya.
3.Membenarkan apa yang mereka beritakan.
4.Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada
kita
Buah iman kepada para Rasul.
1. Mengetahui
rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hambanya sehingga mengutus para Rasul
untuk menunjukkan mereka kepada jalan Allah, serta menjelaskan bagaimana
seharusnya mereka menyembah Allah, karena akal manusia tidak bisa mengetahui
hal itu dengan sendirinya.
2. Mensyukuri ni’mat Allah yang amat
besar ini.
3. Mencintai
para Rasul, mengagungkan serta memuji mereka, karena mereka adalah para Rasul
Allah dan karena mereka hanya menyembah Allah,
menyampaikan risalah- Nya, dan menasehati hamba-Nya. Orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran, mendustakan para Rasul dengan menganggap bahwa para
Rasul Allah bukanlah manusia. Anggapan yang keliru ini dibantah Allah
IMAN
KEPADA HARI AKHIR
Hari Akhir adalah hari kiamat, dimana
seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu
disebut hari akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itu
penghuni surga dan penghuni neraka masing-masing menetap di tempatnya.
Iman kepada hari Akhir mencakup dua hal:
1. Beriman kepada ba’ts (kebangkitan),
Yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang
sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Di saat itu semua manusia
bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang,
dan tidak disunat.
2. Beriman kepada hisab (perhitungan) dan jaza’
(pembalasan)
dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Allah berfirman:
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada
hari kiamat, maka tiada dirugikan seorangpun barang sedikit. Dan
sekalipun(amalan itu) hanya seberat biji sawi pasti Kami berikan (pahala)nya.
Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al
Anbiya’: 47).
Buah iman kepada hari akhir:
1. Gemar melakukan ketaatan demi mengharap
pahala di hari tersebut.
2. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa
takut akan disiksa pada hari itu.
3. Menghibur orang mukmin jika tidak mendapatkan
balasan kebajikannya di dunia dengan
mengharap keni’matan serta pahala di akhirat.
IMAN
KEPADA TAKDIR
Al qadar adalah takdir Allah seluruh makhluk
yang ada sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya.
Iman kepada takdir mencakup empat hal:
1. Mengimani
bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali
dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para
hamba-Nya.
2. Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di “Lauh Mahfudz”.
3. Mengimani
bahwa seluruh yang terjadi, tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah .
Baik yang berkaitan dengan perbuatan Allah sendiri maupun yang berkaitan dengan
perbuatan makhlukmakhlukNya
4. Mengimani
bahwa seluruh yang ada, wujud, sifat dan geraknya diciptakan oleh Allah tidak
berdosa.
5. Takdir Allah
adalah rahasia yang, tidak dapat diketahui sebelum terjadi, kehendak seseorang
untuk mengerjakan sesuatu lebih dahulu daripada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang
untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya terhadap
takdir Allah. Dengan ini gagal alasan melakukan dosa dengan takdir karena tidak
ada alasan bagi seseorang terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
Buah iman kepada takdir:
1. Tawakkal
kepada Allah disaat
mengerjakan sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala
sesuatu ditentukan dengan takdir Allah.
2. Agar
seseorang tidak mengagumi dirinya ketika tercapai apa yang dicita-citakan.
Karena tercapainya cita-cita merupakan ni’mat dari Allah yang telah
ditakdirkan-Nya dengan memudahkan sebab-sebab keberhasilan. Sedangkan sifat mengagumi
diri akan dapat melupakan syukur kepada ni’mat Allah.
3. Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa
terhadap seluruh takdir yang terjadi, tidak
gelisah
karena hilangnya sesuatu yang disukai atau sesuatu yang tidak disukai
menimpanya. Karena dia tahu bahwa hal itu terjadi dengan takdir Allah, Pemilik
langit dan bumi dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
TUJUAN
AKIDAH ISLAM
Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang
baik yang harus dipegang teguh, yaitu :
1. Untuk mengikhlaskan
niat dan ibadah kepada Allah semata. Karena Dia adalah pencipta
yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka
tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepada-Nya.
2. Membebaskan
akal dan pikiran dari kekeliruan yang timbul karena jiwa yang kosong dari
akidah. Dan orang yang jiwanya kosong dari akidah, terkadang ia menyembah (menjadi
budak) materi yang nyata saja, dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan
akidah dan khurafat.
3. Ketenangan jiwa
dan pikiran, terhindar dari kecemasan dalam jiwa dan kegoncangan
pikiran. Karena akidah akan menghubungkan
orang mukmin dengan Penciptanya, lalu
meridhai Dia sebagai Tuhan yang mengatur,
Hakim yang membuat syari`at. Oleh karena
itu jiwanya menerima takdir, dadanya
lapang, menyerah lalu tidak mencari Tuhan pengganti.
4. Meluruskan
tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah
dan dalam bermuamalah dengan orang lain. Karena
diantara dasar akidah adalah mengimani para Rasul, dengan mengikuti jalan mereka
yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh
dalam segala sesuatu dan tidak melewatkan kesempatan beramal
kebajikan, selalu digunakannya dengan
baik untuk mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali
menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah adalah
mengimani hari berbangkit serta hari pembalasan terhadap seluruh
perbuatan.
“Dan masing-masing orang
memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu
tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al
An’am: 132).
Nabi Muhammad juga
menghimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:
“Orang mukmin yang kuat itu lebih
baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada
masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna
bagimu serta mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah. Jika engkau
ditimpa sesuatu, maka jaganlah engkau katakan , seandainya aku begini dan
begitu (tentu tidak akan jadi begini).
Akan tetapi katakanlah , itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan.
Sesungguhnya ucapan "andai begini, andai begitu" membuka kesempatan setan
untuk menyesatkan.” (
HR. Muslim).
6. Menciptakan umat yang kuat yang mengerahkan
segala daya dan upaya untuk
menegakkan agama Allah serta memperkuat tiang
penyanggahnya tanpa peduli apa yang akan terjadi ketika menempuh jalan itu.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang –orang yang benar.” (QS. Al Hujurat: 15),
7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan
memperbaiki pribadi-pribadi maupun
kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.
Allah berfirman:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal baik, lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan balasannya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang paling baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Inilah sebagian dari tujuan akidah Islam,
Kami berharap agar Allah mewujudkannya pada diri kami dan diri seluruh umat
Islam.
Komentar
Posting Komentar